KASUS MANIPULASI FAKTUR PAJAK FIKTIF



Dalam memahami mengapa seseorang wajib membayar pajak untuk membiayai pembangunan yang terus dilaksanakan, maka perlu dipahami terlebih dahulu apa itu pajak. Seperti yang diketahui bahwa Negara dalam menyelengarakan pemerintahan mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan keamanan, pertahanan maupun kecerdasan kehidupannya. Untuk menjalankan kewajiban tersebut, pemerintah menyusun anggaran yang sebagian besar berasal dari pajak. Menurut Mr.Dr.N.J. Feldman pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontra-prestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum[1].      

Salah satu kasus terkait pajak yang pernah muncul di media massa dan menimbulkan kerugian keuangan Negara adalah kasus manipulasi faktur pajak fiktif. Kasus ini terjadi karena wajib pajak terbukti menggunakan dokumen Faktur Pajak yang tidak benar alias palsu, seolah-olah wajib pajak benar-benar telah menerbitkan Faktur Pajak sesuai transaksi yang sebenarnya. Wajib pajak yang menerbitkan Faktur Pajak tetapi tidak diikuti dengan adanya transaksi jual beli barang yang sebenarnya adalah fiktif. Penerbit Faktur Pajak yang tidak diikuti dengan transaksi jual beli yang benar tentu saja akan merugikan Negara dari sisi penerimaan pajak. 

Menariknya dari kasus ini karena adanya silang pendapat antara Jaksa Penuntut Umum dengan penasihat hukum tersangka dalam hal penerapan ketentuan hukum yang berlaku. Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menerapkan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang ini telah mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 dan dirubah lagi terakhir dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001). Sedangkan penasihat hukum tersangka berpendapat bahwa untuk mengadili persoalan manipulasi pajak agar menggunakan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang ini telah mengalami perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000--- Undang-Undang KUP) [2].

Dijelaskan dalam Pasal 39 ayat (1) huruf e Undang-Undang KUP menyebutkan bahwa apabila seseorang dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Sedangkan menurut Undang-Undang Korupsi, walaupun pelakunya telah memenuhi unsur merugikan keuangan Negara dan perekonomian Negara, ancaman hukumnya bervariasi ada yang 1 (satu) dan ada yang 7 (tujuh ) tahun[3].     


Kritik dan Saran:
Menurut saya penerapan peraturan perundang-undangan untuk kasus perpajakan lebih tepat menggunakan Undang-Undang KUP. Hal tersebut karena Undang-Undang KUP telah mengatur secara khusus dan jelas akan persoalan pajak termasuk sanksi yang dapat diterapkan.   
    
Referensi
1.      Ilyas, Wirawan B. dan Richard Burton. 2001. Hukum Pajak, Edisi 1. Jakarta: Salemba Empat.
2.      Ilyas, Wirawan B. dan Richard Burton. 2007. Hukum Pajak, Edisi 3. Jakarta: Salemba Empat.  
3.      Pasal 39 ayat (1) huruf e  tentang Undang-undang KUP.
   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SISTEM EKONOMI INDONESIA; Persaingan Terkendali

SEJARAH EKONOMI INDONESIA; cita-cita ekonomi meredeka